Hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam UUD 1945 adalah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan bukan hukum adat (juga tidak tertulis), terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Meminjam rumusan (dalam teori) mengenai Konvensi dari AV. Dicey : adalah ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan “Discretionary Powers “.
Dicretionary Powers adalah
kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak yang semata-mata
didasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan dari pemegang kekuasaan itu
sendiri.
Hal diatas yang mula-mula mengemukakan
yaitu Dicey dikalangan sarjana di Inggris pendapat tersebut dapat
diterima, beliau memperinci konvensi ketatanegaraan merupakan hal-hal
sebagai berikut :
- Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
- Konvensi sebagai bagian dari konstitusi tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
- Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.
- Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary powers dilaksanakan.
Menyinggung ketatanegaraan adalah tak
terlepas dari organisasi negara, disini muncul pertanyaan yaitu : apakah
negara itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita pinjam “Teori Kekelompokan” yang dikemukakan oleh ; Prof. Mr. R. Kranenburg.
Adalah sebagai berikut :
“Negara itu pada hakekatnya adalah
suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang
disebut bangsa dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka
bersama “
Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya, sedangkan organisasinya, yaitu negara bersifat sekunder.
Tentang negara muncul adanya bentuk
negara dan sistem pemerintahan, keberadaan bentuk negara menurut
pengertian ilmu negara dibagi menjadi dua yaitu : Monarchie dan Republik.
- Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk negara disebut Monarchie dan kepala negaranya disebut Raja atau Ratu.
- Jika kepala negara dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan, bentuk negaranya disebut Republik dan kepala negaranya adalah Presiden.
PADA ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
(“Indonesische Staatsregeling”, disingkat IS)
Dg. S. 1855-2 jo. 1 disebutkan namanya “Regeeringsreglement” dengan
singkatan “RR”, kemudian s.d.u.t. dengan Ind. S. 1925-415 jo. 577
sebutan namanya menjadi “Staatsinrichting van Ned. Ind.” dan terakhir
s.d.u.t. dg. Ind. S. 1925-447 sebutan namanya menjadi “Ind.
Staatsregeling”, disingkat ISR, di mana diumumkan kembali naskah
secara menyeluruh dengan nomor urut pasal-pasalnya seperti yang sekarang
ini yang mulai berlaku sejak 1 Jan. 1926.
Pasal 131
(1) Hukum-hukum perdata, dagang dan pidana, begitu pula hukum
acara perdata dan pidana, diatur dengan “undang-undang” (ordonansi),
dengan tidak mengurangi wewenang yang diberikan oleh atau berdasarkan
undang-undang kepada pembentuk perundang-undangan pidana. Pengaturan
ini dilakukan, baik untuk seluruh golongan penduduk atau beberapa
golongan dari penduduk itu ataupun sebagian dari golongan itu, ataupun
baik untuk bagian-bagian dari daerah secara bersama maupun untuk satu
atau beberapa golongan atau bagian dari golongan itu secara khusus.(2) Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum perdata dan dagang ini:
a. Untuk golongan Eropa berlaku
(dianut) undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda, dan penyimpangan
dari itu hanya dapat dilakukan dengan mengingat baik yang khusus bertaku
menurut keadaan di Indonesia, maupun demi kepentingan mereka
ditundukkan kepada peraturan perundang-undangan menurut ketentuan yang
sama bagi satu atau beberapa golongan penduduk lainnya;
b. Untuk orang-orang Indonesia,
golongan Timur Asing atau bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yan
merupakan dua golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat
megnghendaki, diberlakukan baik ketentuan perundang-undangan untuk
golongan Eropa, sedapat mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan
seperlunya, maupun ketentuan perundang-undangan yang sama dengan
golongan Eropa, sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ,
bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan
adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila
temyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya. (ISR.
163; S. 1882-152; S. 1917-129, 130; S. 1924-556; S. 1931-53 jo. 177.)
(3) Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum pidana, hukum
seats p,erdata dan hukum acara pidana, bila hal itu berlaku secara
khusus untuk golongan Eropa, dianut undang-undang yang berlaku di Negeri
Belanda, akan tetapi dengan perubahan-perubahan yang diperlukan yang
disebabkan oleh keadaan khusus di Indonesia; bila karena penerapan atau
penundukan diri kepada peraturan umum yang berlaku sama bagi golongan
lain atau sebagian dari golongan itu, barulah undang-undang itu
diberlakukan bila terdapat persesuaian dengan keadaan yang khusus itu.(4) Orang-orang Indonesia dan golongan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan kepada peraturan yang sama bagi golongan Eropa, berhak untuk menundukkan diri secara ke’scluruhan atau sebahagian, untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perdata dan hukum dagang untuk golongan Eropa yang sebetulnya tidak berlaku bagi mereka itu. Penundukan diri kepada hukum Eropa ini beserta akibat-akibat hukumnya diatur dengan ordonansi. (ISR. 163-1 S. 1917-12, 528jo. S. 1926-360.)
(5) Ordonansi-ordonansi yang disebutkan dalam pasal ini berlaku hanya di daerah-daerah di mana orang-orang Indonesia diberi kebebasan untuk menggunakan hukum acaranya sendiri dalam berperkara, bila penerapannya dapat disesuaikan dengan keadaan setempat. (S. 1932-80.)
(6) Hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang berlaku bagi orang-orang Indonesia dan golongan Timur Asing masih tetap berlaku selama belum diganti dengan ordonansi-ordonansi seperti yang disebutkan dalam ayat (2) b seperti tersebut di atas. (ISR. 134, 163.)
Pasal 134
(1) Semua perselisihan mengenai hak milik dan hak-hak lainnya yang
timbul karenanya, tagihan utang atau perkara perdata lainnya, merupakan
perkara yang untuk penyelesaiannya harus dikemukakan di pengadilan
(melalui kekuasaan kehakiman). (RO. 2.)(2) (s.d.u. dg.S. 1929-221jo. 487.) Akan tetapi perkara perdata antarasesama orang Islam, bila hukum adat mereka menghendakinya, dapat diselesaikan di pengadilan agama, sepanjang hal itu tidak ditentukan lain oleh ordonansi. (RO. 3; ISR. 163; S. 1882-152, 153; S. 1931-53 jo. 177; S. 1911-633.)
Pasal 142.
Rahasia yang dipercayakan kepada Jawatan Pos dan badan angkutan
surat-surat pos lainnya tidak dapat diganggu gugat, kecuali atas
perintah hakim dapat digugat dalam hal-hal seperti yang ditentukan dalam
ordonansi. (S. 1893-240 jo. S. 1923-317; KUHP 430 dst.; Sv. 91; F. 13
dst.)
Pasal 143.
Siapa pun tidak dapat dituntut karena pidana atau dijatuhi hukum
pidana karenanya, kecuali dengan cara-cara dan dalain hal-hal yang
disebutkan dalam perundang-undangan umum. (AB. 26; KUHP. 1; Sv. 370; IR.
294; RBg. 661.)
Pasal 144.
Tidak ada hukuman pidana yang mengakibatkan seseorang kehilangan hak
asasinya (burgerlijke dood) atau kehilangan semua haknya dalam hukum
keperdataan. (KUHPerd. 3.)
Pasal 145.
Untuk setiap pelanggaran atau kejahatan tidak dapat dijatuhi hukum
pidana dengan melakukan sitaan atas barang-barang milik seseorang yang
dikalahkan dalam perkara.
Pasal 163.
(1) Bila ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, peraturan
umum dan verordening lainnya, reglemen, pemeriksaan polisi dan peraturan
administrasi berbeda-beda yang digunakan untuk golongan Eropa, orang
Indonesia dan golongan Timur Asing, berlakulah pelaksanaan-pelaksanaan
seperti berikut.(2) Ketentuan-ketentuan untuk golongan Eropa berlaku bagi:
1. Semua orang Belanda;
2. Semua orang yang tidak termasuk dalam no. 1 yang berasal dari Eropa;
3. semua orang Jepang dan selanjutnya
semua pendatang dari luar negeri yang tidak termasuk dalam no. 1 dan
2 yang di negeri-asalnya berlaku bagi mereka hukum keluarga yang pada
dasamya mempunyai asas-asas hukum yang sama dengan hukum
keluarga Belanda;
4. anak-anak yang sah atau yang diakui
sah berdasarkan undang-undang di Indonesia beserta keturunan-keturunan
dari orang-orang seperti yang disebutkan dalam no. 2 dan 3.
(3) Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi orang-orang Indonesia,
kecuali bagi orang-orang Kristen-Indonesia yang keadaan hukumnya telah
ditetapkan dengan ordonansi, berlaku bagi semua orang yang termasuk
penduduk asli Indonesia dan yang tidak mengalihkan status hukumnya ke
golongan lain dari penduduk asli Indonesia, dan termasuk mereka yang
merupakan golongan lain dari penduduk asli Indonesia akan tetapi telah
membaurkan diri dalam penduduk asli Indonesia.(4) Ketentuan-ketentuan untuk golongan Timur Asing, kecuali yang status hukumnya telah ditetapkan dalam ordonansi bagi mereka yang memeluk Agama Kristen, berlaku bagi semua orang yang tidak memenum unsur-unsur seperti yang disebutkan dalam ayat (2) dan (3) pasal ini.
(5) Dengan persetujuan Raad van Indonesia, Gubernur Jenderal berwenang untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan untuk golongan Eropa bagi mereka yang tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Pernyataan berlakunya ketentuan-ketentuan ini bagi mereka, berlaku pula demi hukum bagi anak-anak mereka yang sah yang dilahirkan kemudian dan anak-anak mereka yang sah berdasarkan undang-undang dan keturunan-keturunan lanjutan mereka. (S. 1883-192.)
(6) Setiap orang berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam ordonansi dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk ditetapkan dalam kategori mana orang itu berada.
Bentuk negara menurut UUD 1945 baik dalam
Pembukaan dan Batang Tumbuh dapat diketahui pada pasal 1 ayat 1, tidak
menunjukkan adanya persamaan pengertian dalam menggunakan istilah
bentuk negara (lihat alinea ke 4);
“……… maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, ………dst. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik “.
Dalam sistem ketatanegaraan dapat diketahui melalui kebiasaan ketatanegaraan (convention), hal ini mengacu pengertian Konstitusi, Konstitusi mengandung dua hal yaitu : Konstitusi tertulis dan Konstitusi tidak tertulis,
menyangkut konstitusi sekelumit disampaikan tentang sumber hukum
melalui ilmu hukum yang membedakan dalam arti materiil dan sumber hukum
dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dan substansi hukum sedangkan sumber hukum dalam arti formal
adalah hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu
menyebabkan hukum berlaku umum, contoh dari hukum formal adalah
Undang-Undang dalam arti luas, hukum adat, hukum kebiasaan, dan
lain-lain.
Konvensi atau hukum kebiasaan
ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan
negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan mendinamisasi
kaidah-kaidah hukum perundang-undangan. Konvensi di Negara Republik
Indonesia diakui merupakan salah satu sumber hukum tata negara.
Pengertian Undang-Undang Dasar 1945
terdiri dari 2 kelompok yaitu : Pembukaan, Batang Tumbuh yang memuat
pasal-pasal, dan terdiri 16 bab, 37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan
aturan tambahan 2 pasal. Mengenai kedudukan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai sumber hukum tertinggi, Pancasila merupakan segala sumber hukum.
Dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/ 2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan.
TAP MPR NO. XX/MPRS/1966 | TAP MPR NO. III/MPR/2000 |
Tata Urutannya sebagai berikut :1. UUD 1945
2. TAP MPR 3. UU / Peraturan Pemerintah Pengganti UU 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti: - Peraturan Menteri - Instruksi Menteri |
Tata Urutannya sebagai berikut :1. UUD 1945
2. TAP MPR RI 3. Undang – Undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah |
Sifat Undang-Undang Dasar 1945, singkat
namun supel, namun harus ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan
Negara Indonesia, untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Pasalnya hanya 37
buah, hanya mengatur pokok-pokoknya saja, berisi instruksi kepada
penyelenggara negara dan pimpinan pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan negara dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
b. Aturan pelaksanaan
diserahkan kepada tataran hukum yang lebih rendah yakni Undang-Undang,
yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabutnya.
c. Yang penting adalah semangat para penyelenggara negara dan pemerintah dalam praktek pelaksanaan.
d. Kenyataan bahwa UUD
1945 bersifat singkat namun supel seperti yang dinyatakan dalam UUD
1945, secara kontekstual, aktual dan konsisten dapat dipergunakan
untuk menjelaskan ungkapan “Pancasila merupakan ideologi terbuka” serta membuatnya operasional.
e. Dapat kini ungkapan
“Pancasila merupakan ideologi terbuka” dioperasionalkan setelah
ideologi Pancasila dirinci dalam tataran nilai. Pasal-pasal yang
mengandung nilai-nilai Pancasila (nilai dasar) yakni aturan pokok
didalam UUD 1945 yang ada kaitannya dengan pokok-pokok pikiran atau ciri
khas yang terdapat pada UUD 1945. Nilai instrumen Pancasila, yaitu
aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu (TAP MPR, UU, PP, dsb).
Fungsi dari Undang-Undang Dasar merupakan
suatu alat untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawahnya apakah
bertentangan dengan UUD disamping juga merupakan sebagai fungsi
pengawasan.
Makna Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber
dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia yang
merupakan sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan
baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan pergaulan
bangsa-bangsa di dunia.
Pembukaan yang telah dirumuskan secara
padat dan hikmat dalam 4 alinea itu, setiap alinea dan kata – katanya
mengandung arti dan makna yang sangat mendalam, mempunyai nilai-nilai
yang dijunjung oleh bangsa-bangsa beradab, kemudian didalam pembukaan
tersebut dirumuskan menjadi 4 alinea.
Pokok – pokok pikiran alinea pertama berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
perikeadilan “.
Makna yang terkandung dalam alinea pertama ini ialah;
- Adanya keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia membela kemerdekaan melawan penjajah.
- Tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan tekad untuk tetap berdiri dibarisan yang paling depan untuk menentang dan menghapus penjajahan diatas dunia.
- Pengungkapan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perkemanusiaan dan perikeadilan; penjajah harus ditentang dan dihapuskan.
- Menegaskan kepada bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Alinea kedua berbunyi :
“Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“.
Makna yang terkandung disini adalah ;
- Bahwa kemerdekaan yang merupakan hak segala bangsa itu bagi bangsa Indonesia, dicapai dengan perjuangan pergerakkan bangsa Indonesia.
- Bahwa perjuangan pergerakan tersebut telah sampai pada tingkat yang menentukan, sehingga momentum tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan.
- Bahwa kemerdekaan bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan Negara Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang tidak lain adalah merupakan cita-cita bangsa Indonesia (cita-cita nasional).
Alinea ke tiga berbunyi :
“Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya“.
Hal ini mengandung makna adanya ;
- Motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat ridho Tuhan.
- Keinginan yang didambakan oleh segenap bangsa Imdonesia terhadap suatu kehidupan didunia dan akhirat.
- Pengukuhan dari proklamasi kemerdekaan.
Alinea ke-empat berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk
membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi,
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia“.
Alinea ke empat ini sekaligus mengandung;
1. Fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia yaitu :
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
- Memajukan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
- Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
2. Susunan / bentuk Negara adalah Republik
3. Sistem pemerintahan Negara adalah Kedaulatan Rakyat
4. Dasar Negara adalah Pancasila, sebagaimana seperti dalam sila-sila yang terkandung didalamnya.
Dari uraian diatas maka, sementara dapat
disimpulkan bahwa sungguh tepat apa yang telah dirumuskan didalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu : Pancasila merupakan landasan ideal bagi
terbentuknya masyarakat adil dan makmur material dan spiritual didalam
Negara Republik Indonesia yang bersatu dan demokratif.
Sebelum menjelaskan mengenai sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
disampaikan terlebih dahulu mengenai struktur ketatanegaraan pada
umumnya. Istilah struktur ketatanegaraan disini adalah terjemahan dari
istilah Inggris “The Structure of Government “.
Pada umumnya struktur ketatanegaraan
suatu negara meliputi dua suasana, yaitu : supra struktur politik dan
infra struktur politik, yang dimaksud dengan supra struktur politik
disini adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut
alat- alat perlengkapan negara termasuk segala hal yang berhubungan
dengannya.
Hal-hal yang termasuk dalam supra
struktur politik ini adalah mengenai kedudukan, kekuasaan dan
wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta hubungan antara alat-alat
perlengkapan itu satu sama lain.
Adapun infra struktur politik meliputi lima macam komponen, yaitu :
- komponen Partai Politik,
- Komponen golongan kepentingan,
- Komponen alat komunikasi politik,
- Komponen golongan penekan,
- Komponen tokoh politik.
Praktek ketatanegaraan Negara Republik
Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 dapat diuraikan mengenai
pendapat-pendapat secara umum yang berpengaruh (dominan) berpendapat,
UUD 1945 dan Pancasila harus dilestarikan, upaya pelestarian ditempuh
dengan cara antara lain tidak memperkenankan UUD 1945 diubah.
Secara hukum upaya tersebut diatur sebagai berikut :
1. MPR menyatakan secara resmi tidak
akan mengubah UUD 1945 seperti tercantum dalam TAP MPR No. I/MPR/1983,
pasal 104 berbunyi sebagai berikut “Majelis berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945 tidak berkehendak dan tidak akan melakukan
perubahan terhadap serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen
“.
2. Diperkenalkannya “referendum”
dalam sistem ketatanegaraan RI. Kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945
harus terlebih dahulu disetujui dalam sebuah referendum sebelum kehendak
itu menjelma menjadi perubahan UUD. Referendum secara formal mengatur
tentang tata cara perubahan UUD 1945 secara nyata, lembaga ini justru
bertujuan untuk mempersempit kemungkinan mengubah UUD 1945 hal ini dapat
diketahui pada bunyi konsideran TAP MPR No. IV/MPR/1983 huruf e yang
berbunyi :
“Bahwa dalam rangka makin menumbuhkan
kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau ketentuan
pengangkatan 1/3 jumlah anggota MPR perlu ditemukan jalan konstitusional
agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk merubah UUD 1945“.
Kata “melestarikan” dan “mempertahankan”
UUD 1945 secara formal adalah dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang
tertulis dalam pembukaan UUD 1945 diakui bahwa UUD 1945 seperti yang
terdapat didalam penjelasan adalah sebagai berikut :
“Memang sifat aturan itu mengikat
oleh karena itu makin “supel” (elastic) sifatnya aturan itu makin baik.
Jadi kita harus menjaga supaya sistem UUD jangan sampai ketinggalan
jaman “.
Dari uraian diatas dapat diketahui adanya
dua prinsip yang berbeda yaitu : yang pertama berkeinginan
mempertahankan, sedangkan prinsip yang kedua menyatakan UUD jangan
sampai ketinggalan jaman, yang artinya adanya “perubahan”, mengikuti
perkembangan jaman dalam hal ini perlu dicari jalan keluar untuk
memperjelas atau kepastian hukum dalam ketatanegaraan.
Jalan keluar salah satu diantaranya
bentuk ketentuan yang mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah
konvensi. Konvensi merupakan “condition sine quanon” (keadaan
sesungguhnya) untuk melaksanakan UUD 1945. Untuk melestarikan atau
mempertahankan UUD 1945 yaitu agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan
perkembangan jaman sedangkan larangan mengubah UUD 1945 dapat dilihat
sebagai aspek statis (mandeg) dari upaya mempertahankan atau melestarikan UUD 1945.
Selain alasan-alasan diatas kehadiran konvensi dalam sistem ketatanegaraan RI, didorong pula oleh :
- Konvensi merupakan sub sistem konstitusi yang selalu ada di setiap negara.
- Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Konvensi merupakan salah satu sarana untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Didalam memperjelas mengenai
ketatanegaraan di Indonesia pada UUD 1945 sebelum amandemen dapat
dilihat pada bagan lampiran tersendiri. Dan setelah UUD 1945 dilakukan
amandemen yang pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, kedua pada
tanggal 18 Agustus 2000, ketiga pada tanggal 9 November 2001 dan
keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 dari perubahan atau amandemen UUD
1945 tampak terlihat adanya perubahan struktur ketatanegaraan RI yang
selanjutnya didalam struktur setelah amandemen adanya lembaga baru yaitu
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini diatur kedalam UUD 1945 yang
diamandemen pasal 7B ayat 1-5 yang intinya adalah menyangkut jabatan
Presiden dan Wakil Presiden, dan apablia melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dll harus
diajukan terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR kepada
penyalahgunaan Presiden/Wakil Presiden. Dalam hal ini DPR mengajukannya
masalahnya ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya diserahkan kepada MPR
untuk diambil langkah-langkah selanjutnya dalam sidang istimewa.
Hubungan negara dan warga negara serta
HAM menurut UUD 1945 dilihat dari sejarah bangsa Indonesia tentang
kewarganegaraan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mana pasal 26
ayat 1 menentukan bahwa;
“Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan
dengan Undang-Undang sebagai warga negara”,
sedangkan ayat 2 menyebutkan bahwa;
“Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- Undang”.
Mengacu pada pembahasan oleh Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, masalah hak
asasi manusia Indonesia menjadi perdebatan sengit, ada yang mengusulkan
agar hak asasi manusia dimasukkan kedalam ide tetapi ada juga yang
menolaknya.
Pada akhirnya antara pro dan kontra
tentang hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD dilengkapi suatu
kesepakatan yaitu masuk kedalam pasal-pasal : 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, dan 34. Yang dimaksud kewajiban asasi adalah kewajiban setiap
pribadi untuk berbuat agar eksistensi negara atau masyarakat dapat
dipertahankan, sebaliknya negara memiliki kemampuan menjamin hak asasi
warga negaranya. Mengenai hak asasi manusia merupakan hak yang melekat
pada diri manusia itu sejak lahir terlihat dari uraian diatas mengenai
hubungan antar negara dan warga negara masing-masing memiliki hak dan
kewajiban.